Jumat, 05 Agustus 2022

METODE PENGENDALIAN HAWAR DAUN BAKTERI (Xanthomonas oryzae pv. oryzae) PADA TANAMAN PADI

        Hawar daun bakteri (HDB) merupakan salah satu penyakit tanaman padi yang sangat penting di negara-negara penghasil padi di dunia, termasuk di Indonesia (Ou 1985; Hifni dan Kardin 1998; Suparyono et al. 2004). Di Indonesia, keberadaan penyakit HDB dilaporkan sejak tahun 1950an pada tanaman padi muda di daerah Bogor dengan gejala layu. Pada awalnya penyakit ini dinamai kresek dan patogennya dinamai Xanthomonas kresek (Mahmud 1991). Pengembangan varietas unggul berdaya hasil tinggi tetapi rentan HDB seperti varietas IR64 menyebabkan penyakit ini berkembang dan menyebar ke seluruh sentra produksi padi, terutama di Jawa. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo), yang dapat menginfeksi tanaman padi pada semua fase pertumbuhan, mulai dari pesemaian sampai menjelang panen. Penyebab penyakit (patogen) menginfeksi tanaman padi pada bagian daun dengan cara melalui luka daun atau melalui lubang alami berupa stomata dan merusak klorofil daun, sehingga menurunkan kemampuan tanaman untuk berfotosintesis. Apabila hal ini terjadi pada fase generatif maka proses pengisian gabah kurang sempurna.

Gambar Gejala Hawar Daun Bakteri


TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI

Mengingat banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan penyakit HDB seperti tanah, pengairan, kelembapan, suhu, pupuk, dan ketahanan varietas, maka pengendalian yang dianjurkan adalah secara terpadu dengan berbagai cara yang dapat menekan perkembangan penyakit.

Penanaman benih dan bibit sehat.

Mengingat patogen penyakit HDB dapat tertular melalui benih maka dianjurkan pertanaman yang terinfeksi tidak digunakan sebagai benih (Suprihanto et al. 2002, Sudir dan Suprihanto 2008). Ini perlu dipersyaratkan untuk kelulusan uji sertifikasi benih guna mencegah meluasnya penyakit HDB. Untuk menghindari penularan patogen yang terbawa benih dapat dilakukan perlakuan perendaman benih (seed treatment) dengan bakterisida Agrimycin 0,02% selama 10 jam atau dengan perendaman benih pada air panas 570 C selama 10 menit (Kadir et al.2009). Bakteri penyebab penyakit hawar daun menginfeksi tanaman melalui luka dan lubang alami (Suparyono dan Sudir 1992). Oleh karena itu, memotong bibit sebelum ditanam tidak dianjurkan karena akan mempermudah terjadinya infeksi oleh bakteri patogen. Bibit yang sudah terinfeksi/bergejala penyakit HDB mestinya tidak ditanam.

Cara tanam

Pertanaman yang terlalu rapat akan menciptakan kondisi lingkungan terutama suhu, kelembapan, dan aerasi yang lebih menguntungkan bagi perkembangan penyakit. Pada pertanaman yang rapat akan mempermudah terjadinya infeksi dan penularan dari satu tanaman ke tanaman yang lain (Sudir et al. 2002, Sudir 2011). Untuk memberikan kondisi lingkungan yang kurang mendukung terhadap perkembangan penyakit HDB, tanam dianjurkan dengan sistem legowo dan pengairan secara berselang (intermitten irrigation). Sistem tersebut akan mengurangi kelembapan di sekitar kanopi pertanaman, mengurangi terjadinya embun dan air gutasi dan gesekan daun antartanaman sebagai media penularan patogen. Sudir (2012b) melaporkan bahwa keparahanpenyakit HDB pada sistem tanam legowo nyata lebih rendah dibanding sistem tanam tegel.

Gambar Sistem Tanam Jajar Legowo

Pemupukan.

Dosis pupuk N berkorelasi positif dengan keparahan penyakit HDB. Artinya, pertanaman yang dipupuk nitrogen dengan dosis tinggi menyebabkan tanaman menjadi lebih rentan dan keparahan penyakit lebih tinggi. Sebaliknya, pemberian pupuk K menyebabkan tanaman menjadi lebih tahan terhadap penyakit HDB (Sudir et al. 2002, Sudir dan Abdulrachman 2009, Suidr 2011). Agar perkembangan penyakit dapat ditekan dan produksi yang diperoleh tinggi disarankan menggunakan pupuk N dan K secara berimbang dengan menghindari pemupukan N terlalu tinggi.

Sanitasi lingkungan

Mengingat patogen dapat bertahan pada inang alternatif dan sisa-sisa tanaman maka sanitasi lingkungan sawah dengan menjaga kebersihan sawah dari gulma yang mungkin menjadi inang alternatif dan membersihkan sisa-sisa tanaman yang terinfeksi merupakan usaha yang sangat dianjurkan (Ou 1985). Penggunaan bakterisida merupakan alternatif terakhir bila sangat diperlukan. Hal ini mengingat bakterisida mahal dan sampai saat ini belum tersedia bakterisida yang benar-benar efektif untuk mengendalikan penyakit HDB. Aplikasi tembaga oksida 56% dengan konsentrasi 3 g/l pada saat pemupukan pertama dan pada saat tanaman berbunga serempak memberikan tingkat keparahan lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (Kadir et al. 2009).

Pencegahan.

Untuk daerah endemik penyakit HDB disarankan menanam varietas tahan. Pencegahan penyebaran penyakit perlu dilakukan dengan cara antara lain tidak menanam benih yang berasal dari pertanaman yang terjangkit penyakit, mencegah terjadinya infeksi bibit melalui luka dengan tidak melakukan pemotongan bibit dan menghindarkan pertanaman dari naungan (Suparyono dan Sudir 1992). Penyakit menyebar melalui kontak langsung antara daun sehat dengan daun sakit, oleh karena itu apabila bibit sudah terinfeksi sebaiknya tidak ditanam (Sudir 2012c).

Aplikasi Paenibacillus polymyxa

Paenibacillus polymyxa merupakan bakteri non patogen yang menguntungkan di bidang kesehatan dan lingkungan. Bakteri ini penghasil antibiotik polomiksin. Antibiotik merupakan zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan mempunyai daya hambat terhadap kegiatan mikroorganisme lain. Di bidang pertanian, Paenibacillus polymyxa dapat ditemukan di tanah dan tanaman. Bakteri ini mampu mengikat nitrogen. Biofilms dari Paenibacillus polymyxa menunjukkan produksi eksopolysakarida pada akar tanaman yang dapat melindungi tanaman dari patogen. Hasil uji di BB Biogen bakteri juga mengandung hormon pengatur gibberellin. (Widarti dan Sugeng, 2014) Paenibacillus polymyxa merupakan agen hayati dari jenis bakteri yang diperoleh secara alami di lapangan. Caranya dengan mengisolasi daun padi yang sehat diantara daun padi yang terserang penyakit hawar daun bakteri (BLB). Konsentrasi optimum Paenibacillus polymyxa yang dapat menekan perkembangan penyakit Xanthomonas campestris pv. oryzae Dye. Adalah konsentrasi 5 ml L-1 air. Perlakuan tersebut berpengaruh terhadap produksi padi varietas mekongga dengan hasil paling besar 7.28 Kg (11.648 Kg ha-1 atau 11,65 Ton ha-1). (PPPTP, 2009).

Aplikasi Trichoderma

Keparahan penyakit hawar daun bakteri lebih rendah pada tanaman padi yang diberi Trichoderma sp. menunjukkan bahwa Trichoderma sp. Mampu mengurangi keparahan penyakit hawar daun bakteri. Tanaman padi yang lebih tahan terhadap hawar daun bakteri akibat pemberian Trichoderma sp. menghasilkan beberapa aspek pertumbuhan lebih baik. Hal ini ditunjukkan dengan pengamatan tinggi tanaman dan panjang akar.

Menurut Harman(2000) dalam Soenartiningsih et al., (2014) dalam aspek pertumbuhan yang lebih baik tersebut Trichoderma sp.dapat memperpanjang akar, sehingga penyerapan nutrisi atau hara untuk tanaman menjadi lebih baik. Aspek pertumbuhan yang lebih baik dengan pemberian Trichoderma sp. Pada tanaman padi juga diduga karena Trichoderma sp.dilaporkan mampu menginduksi ketahanan tanaman melalui mekanisme peningkatan enzim-enzim. Salah satu reaksi ketahanan yang ditimbulkan oleh Trichoderma sp.adalah peningkatan enzim kitinase di dalam jaringan tanaman. Sebelumnya Yedidia et al., (1999), membuktikan bahwa inokulasi Trichoderma sp.pada akar menyebabkan peningkatan keaktifan peroksidase dan kitinase dalam daun semai mentimun.Mereka melaporkan bahwa hifa dari Trichoderma sp.mempenetrasi epidermis dan permukaan korteks dari akar mentimun dan tanaman merespon dengan meningkatnya aktivitas enzim peroksidase, meningkatnya enzim kitinase dan meningkatkan selulosa yang terdeposit pada dinding sel. Peningkatan enzim-enzim ini didapati tidak hanya pada perakaran tetapi juga di daun. Trichoderma sp. mempunyai mekanisme biokontrol seperti menginduksi ketahanan tanaman dalam mengendalikan suatu penyakit. Trichoderma sp. membentuk kolonisasi yang kuat, tahan lama pada permukaan akar, dan menembus ke dalam epidermis. Trichoderma sp. memproduksi dan melepaskanberbagai senyawa ke dalam jaringan tanaman (Harman et al.,2004).

Menurut Gusnawatyet al., (2014) karakter kecepatan pertumbuhan yang tinggi pada Trichoderma sp. merupakan salah satu faktor penting yang menentukan potensi sebagai penginduksi ketahanan tanaman. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gusnawaty et al., (2014), faktor penting yang penentu aktivitas Trichoderma sp.yang dapat mengurangi keparahan penyakit adalah memiliki kecepatan pertumbuhan yang tinggi sehingga mampu berkompetisi dengan patogen dalam hal makanan dan penguasaan ruang yang pada akhirnya dapat mengurangi keparahan.


Artikel lainnya : 

Mengenal Musuh Alami Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens)

Rabu, 03 Agustus 2022

Mengenal Musuh Alami Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens)

Pemanfaatan musuh alami dalam pengendalian hama wereng batang coklat (Nilaparvata lugens) dapat mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Wereng batang cokelat mempunyai banyak musuh alami yang berupa parasitoid, predator, patogen. Umumnya musuh alami ini mampu mengendalikan perkembangan populasi wereng batang cokelat (WBC). Penggunaan insektisida yang sembarangan dapat membunuh musuh-musuh alami tersebut, sehingga WBC akan meningkat pesat populasinya yang dikenal dengan istilah resurgensi.

Berbagai predator seperti laba-laba Lycosa sp, kumbang Ophionea nigrofasciata, dan kumbang tomcat Paederus fuscipes memangsa nimfa dan imago wereng cokelat. Telur wereng batang cokelat juga banyak dimangsa oleh kepik predator Cyrthorinus lividipennis.

  Musuh alami adalah mahluk hidup yang berguna untuk mengendalikan populasi hama. Ada beberapa musuh alami utama dalam mengendalikan WBC pada tanaman padi yaitu OPMSC (Ophionea nigrofasciata, Paederus fuscipes, Micraspis sp, Spider dan Cyrthorinus lividipennis).

1. Ophionea nigrofasciata

Kumbang tanah dewasa atau sering disebut Carabidae mempunyai tubuh keras dan aktif, dengan panjang sekitar 2-6 cm , berwarna coklat mengkilap gelap untuk metalik hitam, biru, hijau, ungu, atau multi-warna. O.nigrofasciata berbeda dalam bentuk, tubuh memanjang, kepala meruncing dengan antena benang, dan memiliki penutup sayap bercincin serta alat mulut mengunyah.

Gambar Ophionea nigrofasciata

Larva hitam mengkilat dan imago merah kecoklatan dengan strip hitam berbintik putih 4 bintik, memangsa ulat/ larva penggulung daun 3-5 larva/hari. Kumbang dewasa juga memangsa wereng. Pupa ada di dalam tanah pada lahan basah atau kering.

Serangga ini tertarik pada cahaya. Kepala mereka biasanya lebih kecil dari dada mereka. Kumbang tanah dewasa dan larva memiliki rahang pincher yang kuat. Serangga ini memiliki kaki panjang dan menonjol sehingga dapat bergerak cepat. Sebagian besar spesies aktif di malam hari dan bersembunyi siang hari di celah-celah tanah, di bawah batu, kayu membusuk, sampah daun, atau bahan kompos. 

Kumbang tanah hidup di dalam tanah. Pengembangan dari telur ke tahap dewasa membutuhkan waktu sekitar satu tahun, meskipun kumbang dewasa dapat hidup 2-3 tahun atau lebih. Predator Ophionea nigrofasciata hanya memangsa 1,79 ekor WBC per hari (Shepard et al, 1987).

2. Paederus fuscipes ( Tomcat)

Sering disebut dengan tomcat atau Paederus fuscipes (dalam bahasa Inggris dinamai rove beetles atau kumbang penjelajah) termasuk ordo Coleoptera dan famili Staphylinidae. Kumbang ini memiliki lebih dari 622 spesies (Singh dan Ali, 2007), salah satu di antaranya terdapat di Indonesia, yaitu Paederus fuscipes Curtis (Kalshoven, 1981). Kumbang yang telah lama dikenal masyarakat sebagai semut kanai atau semut kayap.

Gambar Paederus fuscipes

Kumbang tomcat berukuran panjang 7-10 mm dan 0,5 mm. Tubuhnya ramping dengan ujung bagian perut (abdomen) meruncmg, dada (thorax) dan perut bagian atas berwarna merah muda hingga tua, serta kepala, sayap depan (elytra), dan ujung perut (dua ruas terakhir) berwarna hitam. Sayap depannya pendek, berwarna biru atau hijau metalik bila dilihat dengan kaca pembesar. Sayap depan yang keras menutupi sayap belakang dan tiga ruas perut pertama. Sayap belakang digunakan untuk terbang. Meskipun dapat terbang, kumbang lebih suka berlari dengan gesit.

Setelah dewasa, kumbang keluar dari dalam tanah kemudian hidup pada tajuk tanaman untuk mencari mangsa yang umumnya adalah kelompok serangga hama. Perkembangan dari telur menjadi dewasa berlangsung 13-19 hari (Singh dan Ali, 2007). Lama hidup serangga betina 113,8 hari dan serangga jantan 109,2 hari. Seekor kumbang betina mampu menghasilkan telur 106 butir selama hidupnya.

Kemampuan kumbang tomcat memangsa wereng batang coklat rata-rata 7,3; 7,5; 4,2; 3,2; dan 2,3 ekor masing - masing untuk instar l, 2, 3, 4, dan 5. Kelompok burung merupakan predator bagi larva dan kumbang tomcat.

Kumbang tomcat aktif pada siang hari dan tertarik cahaya terang pada malam hari. Sifat inilah yang diduga memicu masuknya kumbang ke pemukiman, selain karena berubahnya habitat tomcat. populasi kumbang meningkat pesat pada akhlr musim hujan (Maret dan April), kemudian dengan cepat berkurang seiring munculnya cuaca kering pada bulan-bulan berikutnya.

3. Kepik mirid (Cyrtorhinus lividipennis)  

Cyrtorhinus lividipennis Reuter termasuk predator dari ordo Hemiptera yang merupakan musuh alami penting dalam menekan populasi wereng batang coklat (Nilaparvata lugens), wereng punggung putih (Sogatella furcifêra), dan wereng hijau (Nephotettix virescens) di pertanaman padi (Wheeler, 2001).

Gambar Cyrtorhinus lividipennis

Imago kepik predator berwarna hijau, pada bagian  kepala dan ujung sayap berwarna hitam dengan panjang badan 3-4 mm (Westen 1979). Kepik predator betina biasanya berukuran lebih besar dibandingkan predator jantan. Pada bagian ujung abdomen kepik betina terdapat ovipositor berbentuk bulan sabit dan apabila dilihat dari arah ventral terlihat seperti garis tebal memanjang dan berwarna cokelat gelap. Nimfa C. lividipennis berwarna hijau muda dan stadium perkembangan serangga melalui empat kali pergantian kulit. Pada bagian dorsal abdomen nimfa instar  terakhir terdapat dua bintik cokelat yang terletak berdampingan.

Lama perkembangan stadia telur berkisar antara 6-9 hari, stadia nimfa 10-17 hari (lama perkembangan setiap instar antara 2-3 hari), lama hidup imago betina 5-21 hari dan lama hidup imago jantan 7-25 hari (CAB International 2005). Nimfa dan imago C. lividipennis dapat memangsa semua stadium perkembangan wereng batang coklat. Chiu (1979) menyatakan bahwa C. lividipennis lebih banyak memangsa telur daripada nimfa wereng. Jumlah telur yang dimangsa oleh seekor imago betina, jantan dan nimfa instar tiga C. lividipennis benurut-turut adalah 10-20 telur/hari, 3-18 telur/hari, dan 6 telur/hari. Di samping keterbatasan efektivitas pemangsaan, kemampuan pemencaran dan berkembang biak C Lividipennis merupakan faktor yang dapat membantu penekanan populasi WBC pada pertanaman padi. Keberadaan kepik ditentukan oleh kemampuannya untuk bertahan hidup saat telur dan nimfa wereng batang  coklat tidak ada di lapangan (Wheeler 2001). Bentur & Kalode (1987) dalam Wheeler (2001) menyatakan bahwa sebagai obligat, C. lividipennis memerlukan mangsa untuk bertahan hidup dan ketiadaan mangsa dapat  menyebabkan kanibalisme terhadap sesama individu plædator. Kepik predator C. lividipennis bersifat polifag dan  aktif pada siang hari. Song & Heong (1997) melaporkan bahwa tingkat penyerangan dan penanganan C. lividipennis terhadap wereng batang coklat meningkat pada suhu 20 0 C sampai 32 0 C. Selain memangsa wereng batang coklat, kepik ini dapat hidup dengan memangsa serangga lain dan efektif digunakan sebagai pengendali hayati serangga hama.

4. Spider (laba-laba)

Laba-laba merupakan salah satu jenis musuh alami yang sering dijumpai pada pertanaman padi dan palawija setelah padi di lahan sawah irigasi. Laba-laba yang dikenal petani sebagai "Lycosa sp" ini bersifat generalis karena memiliki mangsa berbagai jenis serangga, terutama yang berstatus hama. Peranannya sebagai musuh alami dalam ekosistem pertanian sangat penting, bahkan diperhitungkan dalam pengambilan keputusan untuk pengendalian hama dengan penggunaan  insektisida.

Gambar Lycosa sp

Laba-laba mempunyai ukuran 7 - IO mm, merupakan hewan berbuku-buku, pada tungkai terdapat duri - duri yang  panjang dengan mata berbentuk segi enam. Matanya berwarna gelap (hitam), yaitu empat mata kecil pada deretan  pertama (anterior), dua mata besar pada deretan kedua, dan dua mata sedang pada deretan ketiga (posterior). Tubuh laba - laba ini relatif besar dan berwarna coklat tua.

Menurut Gavarra and Raros (1975), laba-laba betina membentuk kantong telur 1-10 hari setelah perkawinan. Telur  menetas kira-kira 10 hari kemudian. Seekor induk laba-laba betina dapat menurunkan 85 ekor laba-laba dewasa.

Daur generasi, dari telur hingga dewasa yang bertelur berlangsung 116 hari dan dari telur sampai dewasa hingga mati, berlangsung 264 hari. Populasi laba-laba dewasa di alam terdiri atas sekurang-kurangnya dua generasi. Perkembangan laba-laba muda menjadi dewasa melalui 6- 10 kali pergantian kulit, pada yang betina sebanyak 8-9 kali dan pada yang jantan 7-8 kali.  

Laba-laba tidak membuat sarang sebagai perangkap, tetapi menyerang mangsanya secara langsung, sehingga tergolong laba-laba buas (wolfspider). Kemampuan laba-laba memangsa nimfa dan imago wereng coklat 5-15 ekor/hari (Shepard et al. 1987). Namun demikian, berbagai pilihan jenis mangsa tersebut dapat menjamin perkembangan populasi Lycosa sp di lapang. Lycosa dapat dinyatakan sebagai pemangsa efektif karena kemampuan berbiaknya tinggi.

5. Micraspis sp

Kumbang Micraspis sp. ini sangat berlimpah selama masa primordia dan wabah wereng batang coklat. Konsumsi tertinggi rata-rata/ hari pada waktu kumbang menjadi larva/ instar empat. Namun, karena umur micraspis panjang, sehingga konsumsi tertinggi pada tahap dewasa.

Gambar Micraspis sp

Micraspis sp memakan wereng batang coklat pada tanaman padi dan serangga kecil lainnya . Kumbang yang melimpah di sawah akan mernbantu menekan populasi beberapa hama serangga. Tetapi karena Micraspis sp memakan serbuk sari tanaman padi, banyak petani menganggap mereka hama dan sering disemprot insektisida.

Sumber : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah

Artikel terkait : 

Tanaman Padi Terserang Wereng Batang Coklat ? Begini Cara Pengendaliannya


 

Selasa, 02 Agustus 2022

Tanaman Padi Terserang Wereng Batang Coklat ? Begini Cara Pengendaliannya

 Wereng batang coklat (Nilaparvata  lugens  Stal)merupakan hama yang menyerang pertanaman padi dengan cara menghisap cairan tanaman sehingga tanaman menjadi kering seperti terbakar dan biasa disebut hopperburn. Wereng batang coklat dapat berkembang biak dengan cepat dan cepat menemukan habitatnya serta mudah beradaptasi.

Wereng batang coklat

Karakteristik WBC

WBC berukuran kecil, nimfa yang baru menetas berukuran < 1 mm dan dewasa ± 3 mm. Hidup dan menghisap cairan tanaman di bagian pangkal batang/pelepah tanaman. Apabila populasi tinggi WBC sampai di daun terutama dewasa bersayap panjang.  Nimfa kecil berwarna putih dan semakin tua berubah menjadi kekuning-kuningan, coklat muda akhirnya menjadi coklat/coklat tua.

WBC mampu beradaptasi terhadap pergantian varietas tahan, dengan membentuk biotipe ataupun koloni baru yang lebih ganas. WBC dewasa mempunyai dua bentuk sayap, yaitu dewasa sayap panjang (makroptera), dan dewasa sayap pendek (brakhiptera).

Bentuk makroptera merupakan indikator populasi pendatang dan emigrasi, sedangkan brakhiptera merupakan populasi penetap yang biasanya menghasilkan keturunan yang menyebabkan kerusakan tanaman.

Populasi WBC dapat meningkat lebih tinggi dengan aplikasi insektisida yang tidak bijaksana (tidak memenuhi kaidah 6 tepat) karena dapat mengakibatkan resistensi (hama menjadi kebal) dan resurjensi (populasi menjadi berkembang lebih cepat terutama karena musuh alaminya musnah.

Bagaimana cara mengendalikannya ?

1. Lakukan gerakan tanam serempak.

Salah satu manfaat tanaman serempak adalah memutus rantai hidup serta makanan bagi hama penyakit tanaman. Umumnya apabila hama penyakit menyerang pertanaman, dia akan menularkan ke pertanaman lainnya karena masih tersedia inang di sekitar. Tetapi jika semua tanaman padi ditanam serempak dan dipanen bersamaan, maka tidak ada lagi inang dan makanan bagi hama penyakit untuk bertahan hidup karena setelah itu umumnya lahan akan diberakan (dibiarkan sementara waktu) atau berganti menjadi komoditas lain seperti palawija.

2. Melakukan sanitasi lingkungan dengan meniadakan singgang, ratun atau sisa tanaman dari musim sebelumnya.

3. Olah tanah dengan baik agar sisa jerami di sawah dapat mengalami pembusukan dengan sempurna.

4. Menggunakan VUB tahan WBC (inpari 13, 18, 19, 31 dan 33).

5. Persemaian dilakukan setelah kondisi lingkungan bersih dari sisa tanaman sebagai sumber inokulum.

6. Pasang lampu perangkap serangga di sekitar pertanaman untuk memonitoring keberadaan serangga hama.

7. Monitoring ketat dan intensif keberadaan hama mulai dari persemaian.

8. Rekayasa ekologi dengan penanaman tanaman refugia sebagai tempat berkembang biaknya musuh alami hama.

Refugia

Pengendalian  biologis dengan  memanfaatkan musuh alami merupakan salah satu langkah dalam pengelolaan agroekosistem. Pengendalian ini merupakan  alternatif pengendalian yang paling aman dan sangat direkomendasikan. Meskipun dampaknya dirasakan dalam jangka waktu yang lama, namun akan mampu menjaga keseimbangan ekosistem. Konservasi  musuh alami dan habitat pendukungnya berarti mencegah berkurangnya populasi dan potensi predator dan parasitoid, dengan cara mengembangbiakkan parasitoid dan predator secara alami serta meningkatkan  perannya dalam mengendalikan hama.

9. Lakukan monitoring secara intensif minimal 1 minggu sekali untuk mengetahui populasi serangga hama.

10. Dilakukan penyemprotan jamur entomopatogen seperti Metarhizium atau Beauveria untuk mencegah terjadinya lonjakan populasi serangga hama.

11. Tindakan pengendalian ditentukan berdasarkan ambang batas per tanaman (vegetatif 3-5 ekor WBC/rumpun padi, generatif 8-10 ekor WBC/ rumpun padi).

12. Alternatif terakhir jika terjadi ledakan hama WBC adalah penggunaan insektisida berbahan aktif Pymentrozine dan Dinetofuran dengan dosis 350 - 500 liter/ ha.

Insektisida masih banyak digunakan untuk pengendalian WBC maupun hama padi lainnya. Sudah sangat dipahami bahwa penggunaan insektisida yang tidak tepat menyebabkan berbagai dampak yang tidak diinginkan, diantaranya resistensi dan resurjensi. Hasil penelitian sudah banyak yang mendokumentasikan kemampuan populasi WBC untuk menjadi tahan terhadap berbagai jenis insektisida. Insektisida sama yang dipakai secara terus menerus akan menyebabkan munculnya populasi yang resisten (tahan) terhadap insektisida dalam waktu yang relatif  singkat.